Menjawab Felix Siauw: Nasionalisme Tidak Ada Dalilnya?

 on Senin, 18 Agustus 2014  

Kicauan Ustadz Felix Siauw, seorang tokoh Hizbut Tahrir Indonesia kembali menjadi perbincangan hangat. Bagaimana tidak, ia menyatakan bahwa nasionalisme itu tidak memiliki dalil.




“Membela nasionalisme, ngga ada dalilnya, ngga ada panduannya. Membela Islam, jelas pahalanya, jelas contoh tauladannya,” demikian tulis Felix di akun Twitter-nya @felixsiauw. (Baca juga: Menjawab Felix Siauw: Perang Suriah Mengamankan Eksistensi Israel)


Tak ayal, kicauan ini memancing emosi dari netizen yang mencintai NKRI. Apalagi, kemerdekaan Indonesia diperjuangkan dengan mengorbankan darah para pahlawan. Akhmad Sahal, seorang cendekiawan Nahdliyin juga mengungkapkan kegusarannya terkait pernyataan Felix Siauw.

“Dulu, yang memusuhi kebangsaan kita adalah kaum penjajah. Kini, yang memusuhi kebangsaan kita adalah HTI dan Ustadz Felix Siauw,” tulisnya. (Baca juga: Menjawab Felix Siauw: Wajib Tabayun)

Benarkah nasionalisme tidak ada dalilnya?

Akhmad Sahal, yang saat ini aktif sebagai pengurus PCINU Amerika Serikat, mengungkapkan dalam kultwitnya keterkaitan antara Islam dan nasionalisme.

Syeikh Rasyid Rida, seorang ulama, pernah berfatwa pada tahun yang dimuat di majalah Al-Manar pada tahu 1933. Saat itu, ada ulama asal Indonesia yang bertanya.

“Betulkah ada hadits yang melarang ide tentang nasionalisme (al fikrah al wathaniyyah)? Bagaimana sikap Islam terhadap nasionalisme bila dikaitkan dengan ukhwuwah Islamiyah dan persatuan Islam? Apakah hadits ‘tak boleh ada ashabiyah dalam Islam, tak  boleh ada di antara kita yang menyerukan ide jahiliyyah’ merupakan larangan terhadap nasionalisme?” (Baca juga: Menjawab felix Siauw: Proxy War di Suriah)

Dan jawaban Syeikh Ridha:

Ashabiyah dari kata “isba”, kaum di mana seseorang tumbuh dan berkelompok, yang melindungi & membelanya, apapun alasannya. Islam melaran melarang ta’ashub (fanatisme kelompok) ketika mereka menjadi penindas  terhadap individu/kelompok lain.

Ashabiyah yang dilarang Nabi adalah ta’ashub, yaitu membela kelompoknya sendiri yang melakukan penindasan. Contohnya, ashabiyah kaum Aus dan Khazraj. Namun jika satu kelompok ditindas atau diserang kelompok lain, maka mereka wajib membela diri (jihad). Hal itu bukan termasuk ashabiyah.

Lantas bagaimana dengan nasionalisme?

Menurut Syeikh Ridha, ide tentang nasionalisme berasal dari persatuan penduduk suatu tanah air tertentu. Mungkin mereka berbeda agama, yang bekerjasama mempertahankan kemerdekaan negeri, dan memajukan kemakmuran bersama. Hal semacam itu muncul di Mesir dan Indonesia, dan menurut Islam, merupakan kawajiban kaum Muslimin untuk membela sesama manusia, siapapun dia. Jadi, baik Muslim ataupun non-Muslim yang hidup di wilayah tersebut, wajib diperlakukan secara adil. (Baca juga: Menteri Hingga Mufti Suriah, Adalah Muslim Sunni)

Bagaimana mungkin Islam dianggap melarang bekerja sama dengan non-Muslim untuk membela negerinya, atau bahu membahu mencapai kemakmuran bersama – sedangkan Khalifah Umar ra bahkan memberikan kesempatan bagi non-Muslim untuk turut berperang bersama melawan agresor, dan non-Muslim tersebut dibebaskan dari jizyah?

Sehingga, menurut Syeikh Ridha, nasionalisme dianggap sah dalam Islam, dan ia menyerukan agar kaum Muslimin bisa menjadi teladan bagi warga lain, apapun agamanya. Nasionalisme bisa berjalan beriringan dengan ukhuwah Islamiyah, karena kemajuan bangsa merupakan tombak bagi kemajuan umat. (ba)


Sumber: liputanislam.com



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Anda

J-Theme