Skema Bisnis Piramida Bisa Dijerat Hukum

 on Kamis, 04 September 2014  

Masyarakat Jawa Timur selama satu bulan terakhir dihebohkan pemberitaan program Manusia Membantu Manusia atau Mavrodi Mondial Moneybox (MMM).

Ini terjadi setelah sistem yang berasal dari Rusia  tampaknya tidak berjalan lancar. Namun, sejauh ini belum ada anggota dari program ini yang merasa dirugikan dan membawanya ke ranah hukum.

Sistem MMM menawarkan keuntungan bukan dari kegiatan distribusi barang lewat penjualan langsung atau atau multilevel marketing (MLM). Dalam sistem ini tidak ada barang atau jasa yang didistribusikan.

Kegiatan MMM lebih menyerupai arisan yang telah lama dikenal dan diterapkan dalam komunitas-komunitas kecil. Perbedaannya, dalam arisan hanya satu orang yang memperoleh giliran dana tunai untuk satu kesempatan, sedangkan MMM memungkinkan banyak orang memperoleh dana secara bersamaan dalam satu kesempatan.

Perbedaan lainnya, dalam arisan secara tradisional, jumlah uang diterima sama dengan nilai pembayaran yang terakumulasi. Sedangkan dalam MMM, uang yang diterima jumlahnya berlipat dibanding jumlah yang disetorkan.

Skema keuangan yang diterapkan MMM mengandalkan aliran dana yang masuk dari anggota baru yang bergabung. Ketika jumlah anggota baru bertambah, maka sistem ini akan terlihat berjalan normal tanpa masalah.

Permasalahannya dalam sistem seperti ini adalah ketika baru diterapkan, pertumbuhan anggota mengikuti deret ukur.

Namun, setelah sistem berjalan, pertumbuhan anggota melambat dan mengikuti deret hitung. Di saat itulah, sistem ini akan kolaps.

Sistem ini di beberapa negara dikenal sebagai skema piramida (pyramid scheme). Banyak negara telah mengkategorikan skema ini sebagai penipuan (fraud).

Australia  dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen (the Australian Consumer Law), telah secara tegas melarang setiap orang untuk berpartisipasi dan/atau membujuk orang lain berpartisipasi dalam skema piramida.

Bagaimana dengan Indonesia? UU 7/2014 tentang Perdagangan (UU Perdagangan) sebenarnya telah mengatur skema piramida.

Pasal 9 UU Perdagangan menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang menerapkan sistem skema piramida dalam mendistribusikan barang.

Penjelasan Pasal 9 menyebut skema piramida sebaga istilah/nama kegiatan usaha yang bukan dari hasil kegiatan penjualan barang.

Skema piramida memanfaatkan peluang keikutsertaan mitrausaha untuk memperoleh imbalan atau pendapatan terutama dari biaya partisipasi orang yang bergabung kemudian atau setelah bergabungnya mitrausaha itu.

Pasal 105 memberikan ancaman sanksi pidana bagi pelaku usaha yang menerapkan sistem skema piramida dalam distribusi dengan pidana 10 (sepuluh) tahun penjara dan/atau pidana denda sepuluh miliar rupiah.

Apakah kemudian Pasal 9 dan Pasal 105 UU Perdagangan dapat diterapkan pada MMM?

Inilah kelemahan UU Perdagangan dibanding The Australian Consumer Law.

Rumusan Pasal 9 UU Perdagangan mempersempit jenis skema piramida yang dapat dipidana.

Jenis skema piramida yang dapat dipidana terbatas pada skema yang digunakan pada distribusi barang.

Artinya, harus ada unsur barang yang didistribusikan dalam skema itu walaupun keuntungan yang diraih bukan dari distribusi barang.

Ini berbeda dengan The Australian Consumer Law. Di sana sebaliknya, tidak mengatur unsur adanya distribusi barang dalam skema piramida.

Meski tidak bisa dijerat UU 7/2014, tetap saja ada peluang dibawa ke ranah hukum ketika sistem ini ternyata merugikan anggota.

Berdasarkan hukum pidana umum, skema piramida tanpa unsur distribusi barang dapat dikategorikan penipuan dalam Pasal 378 KUHP dengan beberapa syarat.

Namun, untuk menjerat itu ada beberapa unsur yang harus terpenuhi.

Pertama, sesuai Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 1601.K/Pid/1990, harus dapat dibuktikan adanya upaya  tipu muslihat atau kebohongan yang diniatkan sejak awal.

Kedua, niat itu ditujukan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain.

Jika kedua unsur ini dapat dibuktikan, maka skema yang digunakan MMM bisa dikategorikan sebagai penipuan.

Walaupun penipuan dalam Pasal 378 KUHP bukan delik aduan,  tetapi peran aktif orang yang menjadi korban untuk melaporkannya ke pihak kepolisian sangat diperlukan.

Hal tersebut dapat dilakukan tanpa perlu menunggu sebuah sistem telah kolaps.

Sumber: tribunnews



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Anda

J-Theme